TEMPO.CO, Kiev-Peluit tanda bahaya rasisme bertiup
mendahului pembukaan Euro 2012 di Polandia-
Ukraina. Pada 28 Mei lalu, program Panorama di BBC
menyiarkan "Stadium of Hate", yang berisi
dokumentasi dan bukti praktek rasisme serta anti-
Yahudi di stadion-stadion di dua negara tersebut.
Mantan kapten tim nasional Inggris, Sol Campbell,
meminta fan Inggris tidak datang ke Ukraina--tempat Inggris berlaga melawan Prancis, Swedia, dan Ukraina di Grup D--untuk menghindari bahaya.
Keluarga Theo Walcott, Alex Oxlade-Chamberlain, dan Joleon Lescott--ketiganya berkulit hitam--mematuhi saran itu. Sebaliknya, Jaksa Agung Ukraina Viktor Pshonka menuding laporan itu subyektif. "Tidak ada ancaman di sini," ujarnya seperti dikutip Kyiv Post.
Kepada Tempo, Rabbi Wolpin, pemimpin komunitas
Yahudi Orech Chaim di Jalan Shekavitskaya, Kiev,
membenarkan adanya rasisme dan anti-Semit di
sana. Menurut dia, kebebasan beragama yang
dikumandangkan pemerintah Ukraina--negara yang
baru merdeka 21 tahun--belum menyentuh akar rumput. Tahun lalu, sekelompok begundal berencana mengacaukan tradisi umat Yahudi Ukraina--yang berjumlah sekitar 200 ribu orang--nyekar ke makam pendeta mereka di luar Kiev. Rencana para begundal itu gagal setelah polisi mengawal peziarah.
Jemaah kelompok Yahudi itu yang tersebar di tiga sinagoge di Kiev beberapa kali tertimpa tindak kekerasan, meski Wolpin tidak bisa memastikan motifnya. Kecenderungan tindak kekerasan lebih tinggi di bagian timur--yang dekat Rusia--seperti Kharkiv dan Donetsk, dibanding Lviv--yang berbatasan dengan Polandia. "Tapi tidak separah itu," kata pria yang selalu berjubah dan berpeci hitam serta memelihara janggut dan cambang panjang ini.
Wolpin, warga New Yorkyang selalu menghabiskan sepekan saban bulan di Kiev, menganggap terdapat perbedaan standar rasisme antara Eropa Timur--yang baru bebas dari komunisme--dan Eropa Barat--yang berabad-abad menganut liberalisme. "Sehingga mereka menganggap di sini sudah seperti Wild Wild West, padahal biasa saja." Bagi Muhammad Fachri, "biasa-biasa saja" adalah
kunci bertahan di Ukraina. Lajang 26 tahun asal Bogor ini menetap di Kiev sejak dua tahun lalu untuk bekerja sebagai staf di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jalan Otto Shmidta. Kupingnya kerap panas mendengar sekelompok
pemuda di dekat kantornya yang memanggil "Cina",
lalu tertawa. Di mal, penjaga toko sering melempar
pandangan sinis, lalu bertanya, "Kamu mau membeli
atau cuma lihat-lihat." Sedangkan orang yang sama
melayani konsumen kulit putih dengan ramah. Kejadian itu berulang sampai hari ini. "Awalnya
marah, tapi ya lama-lama cuekin aja," ujarnya. Michelle Goldhaber, aktivis anti-diskriminasi di Lviv,
mengatakan rasisme memang hidup di Ukraina,
tempat di mana pelajar-pelajar kulit hitam dipukuli
karena warna kulit mereka dan coretan swastika
Nazi terpampang di tembok-tembok di banyak kota.
"Tapi selama ini terabaikan, dan, terima kasih untuk Euro, yang membawa masalah ini ke permukaan,"
ujarnya kepada Kyiv Post. Goldhaber mengatakan pengunjung dengan kulit
berwarna, gay, dan Yahudi mungkin bakal mendapat
perlakuan rasisme di Euro, meski dia yakin tidak akan sampai berbentuk kekerasan. Perempuan yang
tinggal di Lviv sejak 2005 ini meminta pemerintah
Ukraina berhenti menampik tudingan itu dan memberikan pendidikan kesetaraan kepada
warganya.
Sumber : Tempo.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar